Kamis, 16 Februari 2012

Artikel PKN Hubungan internasional indonesia


Hubungan Bilateral Indonesia - China Terus Meningkat
03/12/2009
Hubungan bilateral antara China dan Indonesia terus meningkat. Hal ini tercermin dari meningkatnya nilai perdagangan kedua negara, yang pada tahun 2008 mencapai US$ 31 miliar. Dalam lima tahun ke depan, Presiden Republik Indonesia (RI) Bapak Susilo B. Yudhoyono memperkirakan nilai perdagangan Indonesia-China akan mencapai US$ 50 miliar. Perkiraan Presiden RI ini dikutip oleh Duta Besar (Dubes) Republik Rakyat China untuk Indonesia Yang Mulia Zhang Qiyue, dalam kunjungan kehormatan kepada Menneg PPN/Kepala Bappenas Prof. Armida S. Alisjahbana, MA, Ph.D., Jumat (04/12) pukul 10.00-11.00 WIB di Ruang Tamu Menteri.

Lebih jauh, Yang Mulia Zhang Qiyue menyatakan, peningkatan nilai perdagangan itu didasarkan pada semakin meningkatnya hubungan ekonomi Indonesia-China, yang tidak hanya meliputi bidang perdagangan barang dan jasa, tetapi juga investasi lainnya, seperti perhotelan dan jasa-jasa lainnya.

Peningkatan hubungan bilateral tersebut, sambung Dubes China ini, tidak terlepas dari terjalinnya Free Trade Asean-China. Selain itu, China menganggap Indonesia adalah negara yang mempunyai potensi sangat besar. Namun untuk merealisasikan potensi itu diperlukan penghapusan beberapa hambatan, khususnya hambatan yang menyebabkan masih lambannya realisasi dana pinjaman China. Dunia usaha China yang ingin berinvestasi di Indonesia juga memerlukan jaminan dari pemerintah RI untuk menghadapi risiko perubahan kebijakan pemerintah daerah.

Ketika menerima kunjungan kehormatan tersebut, Ibu Armida, yang didampingi Sesmenneg PPN/Sestama Bappenas Ir. Syahrial Loetan, MCP, dan Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Dr. Ir. Lukita Dinarsyah Tuwo, MA, menjelaskan kebijakan pembangunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Tekanan pembangunan itu ditujukan pada upaya peningkatan konektivitas antar daerah, maupun konektivitas dengan perekonomian kawasan Asia. Prioritas pembangunan lainnya menyangkut pengembangan energi terbarukan, transportasi antar moda, dan peningkatan ketahanan pangan.

Ibu Armida juga menambahkan bahwa pembiayaan pembangunan Indonesia untuk jangka menengah cukup besar, sehingga perlu dilengkapi dengan sumber pembiayaan swasta, baik dari dalam maupun luar negeri. Dengan demikian, dalam kerangka pengembangan kerja sama strategis dengan Indonesia, Pemerintah China dapat ikut berpartisipasi. (Humas)


 



















Tiongkok dan Indonesia Capai Empat Fasal Kesepahaman Penting   
2011-04-29 20:48:47  CRI
Perdana Menteri Tiongkok, Wen Jiabao hari ini di Jakarta mengdakan pembicaraan dengan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Kedua pihak bertukar pendapat mengenai hubungan bilateral, masalah internasional dan regional yang menjadi perhatian bersama, sementara mencapai kesepahaman penting.
Wen Jiabao menyatakan, Tiongkok menaruh perhatian besar pada status dan peranan penting Indonesia dalam urusan internasional, menyokong Indonesia berkembang dan semakin perkasa, dan bersedia bergandengan tangan dengan Indonesia untuk bekerja sama dan mendorong hubungan kedua negara berkembang ke level yang lebih tinggi, dan bersama menciptakan masa depan yang indah di Asia.
Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengharapkan kedua pihak dengan peluang baik kunjungan PM Wen Jiabao di Indonesia memperluas kesepahaman, merancangkan kerja sama dan mendorong kemitraan strategis kedua negara ke suatu jenjang yang baru.
Kedua pihak setuju melakukan upaya bersama di berbagai bidang sebagai berikut dalam rangka lebih lanjut meningkatkan kemitraan strategis Tiongkok-Indonesia.
Pertama, mengintensifkan saling kunjungan tingkat tinggi, membentuk mekanisme pertemuan pemimpin yang periodik, dan menyempurnakan mekanisme dialog strategis tingkat tinggi.
Kedua, memperdalam kerja sama pragmatis kedua negara di berbagai bidang.
Ketiga, lebih lanjut memperdalam pertukaran sosial budaya.
Keempat, lebih lanjut meningkatkan koordinasi dan kerja sama dalam kerangka multilateral, dan mendorong bersama hubungan Tiongkok-ASEAN mencapai kemajuan baru.












Indonesia dan Belanda Akan Tingkatkan Hubungan Bilateral

Kamis, 21 Desember 2006








Menteri Luar Negeri RI N Hassan Wirajuda dan Menteri Luar Negeri Kerajaan Belanda, Bernard Rudolf Bot menyepakati untuk membuat mekanisme dialog untuk lebih meningkatkan hubungan bilateral kedua negara dalam rangka mewujudkan kemitraan menyeluruh di semua  bidang kerja sama. Hal itu dikemukakan oleh kedua Menlu sesaat setelah menandatangani Letter of Intent (LoI) on Comprehensive Partnership di Gedung Agung, Yogyakarata pada tanggal 18 Desember 2006.

Kerja sama tersebut pada waktunya akan ditingkatkan dalam bentuk Joint Declaration on Comprehensive Partnership between Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands. Penandatanganan Deklarasi tersebut akan dilakukan oleh Presiden RI dan PM Belanda pada saat kunjungan Presiden RI. Presiden dijadwalkan akan melakukan kunjungan ke Belanda  pada tahun 2007. Joint declaration ini akan memberikan ruang yang lebih luas bagi kedua negara untuk melakukan kerja sama dan koordinasi dalam berbagai bidang termasuk politik, keamanan, ekonomi, pembangunan, sosial-budaya, kekonsuleran, dan masalah internasional.

Menlu Hassan Wirajuda mengemukakan bahwa penandatanganan LoI ini tidak hanya menandai babak baru dalam hubungan dan kerja sama kedua negara yang menyeluruh, tetapi juga lebih personal. Sementara itu, Menlu Bot menyatakan bahwa di masa mendatang harus ada diskusi yang lebih transparan antara kedua negara dalam menyikapi berbagai persoalan.

Selain itu, Menlu Bot menyampaikan komitmen Pemerintah Belanda untuk memberikan bantuan sebesar 500.000 Euro (6 milyar rupiah) guna membangun kembali 10 sekolah dasar (2 di Bantul dan 8 di Klaten), dan 40.000 Euro (470 juta rupiah) untuk membantu renovasi bangunan Keraton Yogyakarta yang rusak akibat bencana gempa bumi.

Selama kunjungan dua hari di Yogyakarta, Menlu Bot telah melakukan pembicaraan dengan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X di Kraton dan mengunjungi daerah terkena bencana di Bantul. Dalam kesempatan itu, Menlu Bot dan Menlu Hassan Wirajuda telah melakukan peletakan batu pertama pembangunan kembali SD Pucung, Imogiri, Bantul. Menlu Hassan Wirajuda mengemukakan bahwa bantuan Pemerintah Belanda dalam pembangunan kembali sekolah dasar merupakan suatu momentum bagi upaya penguatan persahabatan baik antara kedua pemerintah maupun antar masyarakat di kedua negara.

Kunjungan Menlu Bot kali ini diawali di Bali pada tanggal 16-17 Desember 2006 dan dilanjutkan ke Yogyakarta 17-19 Desember 2006. Menlu Bot telah mengunjungi Indonesia untuk kelima kalinya selama dua tahun terakhir. ING, Sumber Dit. Erbar


AS-Indonesia Akan Tingkatkan Kerjasama Antiterorisme


Singapura - Presiden As Barrack Obama megatakan pihaknya akan meningkatkan kerjasama bilateral dengan Indonesia. Ke depan, kerja sama antiterorisme akan mendapatkan perhatian lebih.
“Kami diskusikan tentang berabagai hal. Bagaimana bisa meningkatkan kerjasama bilateral lebih baik dengan kemitraan yg komprehensif meliputi kesehatan, pendidikan dan tenaga kerja. Kerjasama anti terorisme juga akan semakin mendapat perhatian di masa-masa mendatang,” ujar Obama dalam pertemuan bilateral Presiden Obama dan SBY di hotel Shangri-La, Singapura, Minggu (15/11/2009).
Obama menyatakan, dirinya dan Presiden SBY telah mendiskusikan tantangan yang lebih luas untuk mendapatkan kesempatan dan kesepakatan dalam KTT UNFCCC di Copenhagen pada Desember 2009.
“Bagaimana stabilkan ekonomi dunia dan pertumbuhan, baik melalui perdagangan dan investasi. Kita juga telah mendiskusikan tentang pembangunan yang inklusif, bukan bagi kalangan atas saja manfaatnya tetapi menyeluruh di seluruh masyarakat,” ujar Obama.
Dalam sambutannya, Obama meyakinkan, Indonesia bukan hanya negara penting di kawasan Asia, tetapi juga di G20.
“Indonesia sebagai negara demokratis dan Islam terbesar di dunia memiliki pengaruh besar sekali dan menjadi teladan pembangunan demokrasi dan hubungan antar umat beragama,” jelasnya. (detikNews, 16/11/2009)

Urgensi Perjanjian Ekstradisi RI – Singapura

Tue, 20th October, 2009 - Posted by News2 @ HI UNAIR
By: Baiq Wardhani
Setelah menanti 30 tahun, perjanjian ekstradisi RI dan Singapura ditandatangani Jumat (27/4) hari ini. Selain perjanjian ekstradisi, juga akan ditandatangani perjanjian kerja sama pertahanan antardua negara. Penandatanganan kedua perjanjian itu akan dilakukan di Istana Tampaksiring, Bali, oleh Menlu RI dan Menlu Singapura, disaksikan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.
Perjanjian ekstradisi tersebut memberikan harapan kepada Indonesia untuk dapat memulangkan para penjahat ekonomi seperti koruptor, pencuci uang, dsb. Perjanjian ini membuka babak baru dalam hubungan RI-Singapura.
Kerikil Diplomatik
Penandatanganan perjanjian ekstradisi telah lama dinanti-nantikan, terutama oleh Indonesia yang merasa dirugikan oleh Singapura yang bersikap mengulur-ulur waktu saat Indonesia mengajukan usul pengembalian para kriminal ekonomi. Indonesia pertama menggagas perjanjian itu pada 1979, namun baru 28 tahun kemudian hal tersebut benar-benar terwujud. Penolakan Singapura itu menjadi salah satu kerikil yang mewarnai hubungan baik keduanya.
Adalah hal yang sangat menarik, setelah 28 tahun Singapura bersikeras menolak perjanjian ekstradisi, apakah hal yang membuat negara itu tiba-tiba berubah pikiran?
Apalagi bila mengingat baru-baru ini terjadi ketegangan hubungan antara kedua negara. Ketegangan hubungan RI-Singapura itu muncul saat Indonesia melarang ekspor pasir ke Singapura. Keputusan Indonesia menghentikan penjualan pasir ke Singapura tersebut merupakan salah satu cara menekan Singapura agar negara itu bersedia menandatangani perjanjian ekstradisi yang selama ini diabaikan negara kota tersebut.
Selama ini Singapura selalu menolak menandatangani perjanjian ekstradisi yang sangat diperlukan Indonesia dalam rangka pemberantasan korupsi. Faktor pasir itu jelas menyumbang peranan penting sebagai penekan terhadap Singapura untuk menandatangani perjanjian tersebut.
Singapura merupakan tempat pelarian para penjahat ekonomi Indonesia karena berbagai kemudahan dan keamanan yang ditawarkan negara itu atas aset pihak asing.
Menghadapi tuntutan tersebut, Singapura menyatakan adalah tanggung jawab Indonesia untuk menyelesaikan sendiri urusannya dengan para koruptor itu. Indonesia menuduh Singapura melindungi mereka karena Singapura diuntungkan dengan simpanan uang para koruptor di berbagai lembaga keuangan Singapura.
Negara itu memetik keuntungan besar dengan masuknya uang haram yang dilarikan para koruptor. Memang benar korupsi adalah masalah internal Indonesia. Namun, Indonesia berharap kerja sama Singapura karena sistem hukum Indonesia tidak mampu menjangkau para penjahat tersebut karena mereka berada di luar batas yurisdiksi hukum negara kita.
Ketidaksediaan Singapura bekerja sama dengan Indonesia merupakan ganjalan yang berpotensi mengganggu dalam hubungan diplomatik kedua negara.

Saling Menguntungkan?
Kesediaan Singapura tidak lepas dari beberapa faktor yang menguntungkan kedua belah pihak, terutama Singapura. Perjanjian ekstradisi itu menyangkut 42 butir tindak pidana.
Beberapa tindak pidana yang akan masuk dalam perjanjian ekstradisi, antara lain, korupsi, pencucian uang, dan sejumlah kejahatan transnasional yang diperjuangkan selama ini. Dengan keengganan Singapura bekerja sama dengan negara-negara tetangganya yang merasa menjadi korban kejahatan yang dilakukan para kriminalnya yang berlindung di Singapura, maka predikat good governance Singapura yang bersih dan tidak korup dipertaruhkan. Tidak ada pilihan lain bagi Singapura untuk menerima tawaran penandatanganan perjanjian ekstradisi.
Namun, ada hal yang perlu diingat. Sekalipun perjanjian tersebut sudah ditandatangani masing-masing menteri luar negeri, kesepakatan tersebut tidak serta merta dapat langsung dilaksanakan. Perjanjian ekstradisi itu harus diratifikasi oleh parlemen masing-masing negara, dalam hal ini oleh DPR RI. Proses ratifikasi dari parlemen membutuhkan waktu lama. Perlu kesabaran dari pihak RI yang lebih membutuhkan perjanjian itu dibandingkan dengan pihak Singapura.
Ada hal-hal krusial yang harus dipertimbangkan Indonesia dalam perjanjian tersebut. Apakah sistem hukum Singapura dalam hal ekstradisi dapat secara efektif mengembalikan para kriminal ekonomi Indonesia? Jangan sampai Indonesia terjebak dalam permainan mengejar materi namun kehilangan substansi dari perjanjian yang sudah lama kita perjuangkan itu.
Materinya adalah penerimaan Singapura untuk menandatangani perjanjian itu, substansinya adalah efektivitas implementasi perjanjian tersebut yang berdampak pada pengembalian para penjahat ekonomi itu dan penciptaan clean government di tanah air. Artinya, karena sistem hukum yang berbeda antara RI dan Singapura, perjanjian ekstradisi itu tidak efektif untuk mengembalikan para penjahat ekonomi tersebut ke Indonesia. Kita juga berharap bahwa Indonesia tidak memberikan konsesi terlalu besar kepada Singapura yang berdampak negatif pada kepentingan nasional dan terancamnya kedaulatan negara.
Perjanjian ekstradisi itu diharapkan bisa menjaring para koruptor beberapa tahun ke belakang karena dapat berlaku mundur. Kembalinya mereka ke Indonesia diharapkan dapat mengembalikan aset nasional yang saat ini ngendon di Singapura.
Dalam kaitan ini, masalah korupsi dan segala hal yang bersangkut paut dengan pelarian uang haram tersebut adalah masalah internal Indonesia. Apakah perjanjian ekstradisi itu dapat efektif menyelesaikan beberapa persoalan dasar yang sebenarnya merupakan masalah internal Indonesia?

Berita Utama

Kerjasama Selatan-Selatan Masih Relevan Sebagai Pelengkap Kerjasama Utara-Selatan

Selasa, 13 April 2010
Crans Montana Forum



Kerjasama Selatan-Selatan merupakan komponen pelengkap yang penting bagi kerjasama Utara-Selatan untuk mendorong kerjasama internasional di bidang pembangunan. Indonesia senantiasa memiliki komitmen untuk mengembangkan kerjasama antar negara berkembang tersebut. Tujunannya untuk melengkapi kerjasama antara negara maju dengan negara berkembang. Demikian salah satu pokok pidato Sekretaris Ditjen IDP Kemlu, Elias Ginting di hadapan Crans Montana Forum, Brussel (10/4).

Di hadapan sidang tahunan yang ke-21 Crans Montana Forum  dengan tema “Africa after the London & Pittsburgh G 20s: The New Economic Parameters” tersebut, Elias Ginting memaparkan mengenai potensi dan tantangan negara-negara berkembang untuk mengembangkan kerjasama yang kompatibel antara satu sama lain, serta solusi yang ditawarkan Indonesia.

“Bagi Indonesia forum ini cukup relevan untuk kembangkan dialog dan berbagi pengalaman untuk merealisasikan kerjasama pembangunan. Indonesia berada di garda terdepan dalam kerjasama pembangunan di negara berkembang selama ini, dan pengalaman kita layak dijadikan contoh,” tambah Elias Ginting.

Disampaikan bahwa Indonesia telah memajukan kerjasama antar negara berkembang dalam berbagai bidang, utamanya pertanian, perkebungan, micro-finance, perikanan dan kehutanan. Dicontohkan bahwa melalui Non-Aligned Movement Center for South-South Technical Cooperation, Indonesia tengah mengembangkan Pusat Pelatihan Pertanian di Tanzania, Afrika.

Pada kenyataannya, negara-negara berkembang sering menghadapi tantangan, khususnya di bidang finansial, untuk mengembangkan kerjasama selatan-selatan. Untuk itu, Indonesia mengajak negara-negara maju untuk turut berperan sebagai katalisator bagi penguatan kerjasama antar negara berkembang. Digarisbawahi oleh Elias Ginting bahwa Indonesia memiliki sumber daya manusia dan teknologi yang kompatibel dengan negara berkembang lainnya, yang merupakan potensi yang harus dikembangkan. Kompatibilitas ini merupakan hal yang penting, utamanya untuk melengkapi ketidaksesuaian teknologi antara negara maju dan negara berkembang.

Sementara itu, Dubes RI untuk Belgia, Luksemburg dan Uni Eropa, Nadjib Riphat Kesoema menambahkan bahwa selama Uni Eropa, melalui berbagai skema bantuannya, memiliki perhatian tinggi kepada pembangunan dan peningkatan taraf hidup di berbagai negara berkembang. Namun dengan adanya berbagai persyaratan yang ketat serta standard yang tinggi, berbagai potensi bantuan UE tersebut belum dapat terserap dengan baik.

Dalam kaitan itu, Uni Eropa, di samping memberikan bantuan secara langsung, diharapkan dapat menjadi aktor penting dalam meningkatkan kerjasama antar negara berkembang, sehingga menjadi kerjasama aplikasi teknologi yang kompatibel yang memiliki daya saing yang tinggi.

Crans Montana Forum merupakan suatu organisasi yang berpusat di Monaco, dan secara rutin menyelenggarakan konferensi internasional untuk membahas berbagai isu penting di dunia. Tema tahun ini adalah pembangunan di Afrika, utamanya terkait dengan komitmen negara-negara maju pada KTT G20 di Pittsburgh, AS pada tahun 2009. Konferensi ini pada umumnya dihadiri oleh beberapa pimpinan negara dan tokoh-tokoh penting lainnya.

Selain menghadiri Konferensi Crans Montana Forum, Sesditjen IDP juga mengadakan diskusi dengan Duta Besar dan staf KBRI Brussel. Pokok pembahasan diskusi, antara lain, mencakup perlunya dikembangkan teknologi pelengkap antara negara berkembang untuk meningkatkan nilai tambah hasil sumber daya alam masing-masing. (sumber: KBRI Brussel)

 





3 komentar:

  1. nice blog :) isi tentang sejarah islam kalo bisa.. :D kunjungi blog kita juga yaa.. masih amatir nihh..
    www.themoon15.blogspot.com syukron kasiron ^^

    BalasHapus